Laman

Kamis, 05 Februari 2015

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

PEMIKIRAN EKONOMI AL-SYATIBI
(790 H / 1388 M)
      
       Pendahuluan
Kemunculan ilmu ekonomi Islam pada tiga dasawarsa belakangan ini, telah mengarahkan perhatian para ilmuan modern  kepada pemikiran ekonomi Islam klasik.  Selama ini, buku-buku tentang sejarah ekonomi yang ditulis para sejarawan ekonomi atau ahli ekonomi, sama sekali tidak memberikan perhatian kepada pemikiran ekonomi Islam.
Apresiasi para sejarawan dan ahli ekonomi terhadap kemajuan kajian ekonomi Islam sangat kurang dan bahkan terkesan mengabaikan dan menutupi jasa-jasa intelektual para ilmuwan muslim. Buku Perkembangan Pemikiran Ekonomi  tulisan Deliarnov misalnya, sama sekali tidak memasukkan pemikiran para ekonom muslim di abad pertengahan, padahal sangat banyak ilmuwan muslim klasik yang memiliki pemikiran ekonomi yang amat maju melampaui ilmuwan-ilmuwan Barat dan jauh mendahului pemikiran ekonomi Barat tersebut. Buku Sejarah Pemikiran Ekonomi  tulisan penulis Belanda Zimmerman, (terjemahan), juga tidak memasukkan pemikiran ekonomi para pemikir ekonomi Islam. Dengan demikian sangat tepat jika dikatakan bahwa buku-buku sejarah pemikiran ekonomi (konvensional) yang banyak ditulis  itu sesungguhnya adalah sejarah  ekonomi Eropa, karena hanya menjelaskan tentang pemikiran ekonomi para ilmuwan Eropa.
Pemikiran ekonomi Islam tersebut diilhami dan dipandu  oleh ajaran Al-Quran dan Sunnah juga oleh ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka.[1] Pemikiran adalah sebuah proses kemanusiaan, namun ajaran Al-quran dan sunnah bukanlah pemikiran manusia. Yang menjadi objek kajian dalam pemikiran ekonomi Islam bukanlah ajaran Al-quran dan sunnah tentang ekonomi tetapi pemikiran para ilmuwan Islam tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka memahami ajarean Al-Quran dan Sunnah tentang ekonomi. Obyek pemikiran ekonomi Islam juga mencakup bagaimana sejarah ekonomi Islam yang terjadi dalam praktek historis. Dengan demikian, tulisan ini hanya fokus kepada kajian historis, yakni bagaimana usaha manusia dalam menginterpretasi dan mengaplikasikan ajaran Alquran pada waktu dan tempat tertentu dan bagaimana orang-orang dahulu mencoba memahami dan mengamati  kegiatan ekonomi juga menganalisa kebijakan-kebijakan ekonomi yang terjadi pada masanya.
Padahal sejarah membuktikan bahwa Ilmuwan muslim adalah ilmuwan yang sangat banyak menulis masalah ekonomi. Mereka tidak saja menulis dan mengkaji ekonomi   secara normatif dalam kitab fikih, tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan metodologi yang sistimatis menganalisa masalah-masalah ekonomi. Salah satu intelektual muslim yang paling terkemuka dan paling banyak pemikirannya tentang ekonomi adalah Al-Syatibi (790 H / 1388 M).[2] Al-Syatibi adalah ilmuwan muslim yang memiliki banyak pemikiran dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, sosial dan bahasa. Salah satu pemikiran Al-Syatibi yang sangat menonjol dan amat penting untuk dibahas adalah pemikirannya tentang  ekonomi. Makalah ini akan membahas pemikiran ekonomi Al-Syatibi dengan metode  analitis, deskriptif dan komparaif. Pentingnya pembahasan pemikiran Ibnu Khaldun tentang ekonomi karena pemikirannya memiliki signifikansi yang besar bagi pengembangan ekonomi Islam ke depan.

Pemikiran Ekonomi Al-Syatibi
A.    Biography
Al-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Gharnati Al-Syatibi, ia berasal dari suku Arab Lakhmi dan merupakan salah seorang cendikiawan muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Nama Al-Syatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xitiba atau Jativa) yang terletak di kawasan Spanyol bagian timur.
Al-Syatibi dibesarkan dan memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr, Granada, yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol. Dalam meniti pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermazhab Maliki ini mendalami berbagai ilmu, baik berbentuk ‘ulum al-wasa’il (metode) maupun ‘ulum maqashid (esensi dan hakikat). Al-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar mendalami bahasa Arab dari Abu Abdillad Muhammad ibn Fakhkhar Al-Biri, Abu Qasim Muhammad ibn ahmad Al-Syatibi dan Abu Ja’far Ahmad Al-Syaqwari. Selanjutnya ia belajar dan mendalami hadis dari Abu Qasim ibn Bina dan Syamsuddin Al-Tilimsani, ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali Mansur Al-Zawawi, ilmu ushul fiqih dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Miqarri dan Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad A-Syarif Al-Tilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar Al-Qarsyi Al-Hasyim, serta berbagai ilmu lainnya.
Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, Al-Syatibi mengembangkan potensi keilmuannya dengan mengajar serta membuat karya-karya ilmiah seperti Syarh Jalil ‘ala al-Khulashah fi al-Nahw dan Ushul al-Nahw dalam bidang baha Arab dan al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah dan al-I’tisham dalam bidang ushul fiqih. Al-Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H (1388 M).
Konsep Maqashid al-Syari’ah, secara bahasa terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan al-Syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-Syari’ah berarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah suber pokok kehidupan. Menurut Al-Syatibi menyatakan:[3]
“sesunggungnya syariah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.”
Tujuan syariah menurut Al-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Kemaslahatan, dalam hal ini diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya dalam pengertian yang mutlak.[4]
Menurut Al-Syatibi kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dipelihara, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Al-Syatibi membagi maqashid kedalam tiga tingkatan, yaitu:[5]
a.        Dharuriyat
Jenis maqashid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat yang mencakup pemeliharan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
b.        Hajiyat
Jenis maqashid ini dimaksud untuk memudahkan kehidupan manusia, menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia.
c.         Tahsiniyat
Tujuan jenis muqashad yang ketiga ini adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. Ia tidak dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi barbagai kesulitan tetapi hanya bertindak sebagai pelengkap, penerang dan penghias kehidupan manusai.

Al-Syatibi menyimpulkan korelasi antara dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat sebagai berikut :
a)   Maqashid dharuriyat merupakan dasar bagi maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat.
b)   Kerusakan pada maqashid dharuriyat akan membawa kerusakan pula pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat.
c)   Sebaliknya kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat tidak dapat merusak maqashid dharuriyat.
d)  Kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat yang bersifat absolut terkadang dapat merusak maqashid dharuriyat.
e)  Pemeliharaan maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat diperlukan demi pemeliharaan maqashid dharuriyat secara tepat.

B.    Pandangan Al-Syatibi di Bidang Ekonomi
1)     Objek Kepemilikan
Pada dasarnya Al-Syatibi mengakui hak milik individu, namun ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak.
2)     Pajak
Dalam pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat para pendahulunya, seperti Al-Ghazali dan Ibnu Al-Farra’, ia menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung jawab masyarakat. Dalam kondisi tidak mampu menjalankan tanggung jawab ini, masyarakat bisa mengalihkannya kepada Baitul Mal serta menyumbangkan sebagian kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut.[6]

C.    Wawasan Modern Teori Al-Syatibi
Syariah menginginkan setiap individu memperhatikan kesejahteraan mereka. Pendapat Al-Syatibi yakni manusia senantiasa dituntut untuk mencari kemaslahatan. Aktivitas ekonomi produksi, kosumsi dan pertukaran yang menyertakan kemaslahatan seperti didefinisikan syariah harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat. Dengan demikian, seluruh aktivitas ekonomi yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan (needs). Berdasarkan konsep hierarchy of needs, bahwa garis hirarkis kebutuhan manusia berdasarkan skala prioritasnya terdiri dari :[7]
a.   Kebutuhan Fisiologi, mencakup kebutuhan dasar manusia, seperti makan dan     minum.
b.  Kebutuhan keamanan, mencakup kebutuhan perlindungan terhadap gangguan     fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi.
c.   Kebutuhan Sosial, mencakup kebutuhan akan cinta, kasinh sayang dan               persahabatan.
d.  Kebutuhan Akan Penghargaan, mencakup kebutuhan terhadap penghormatan       dan pengakuan diri.
e.   Kebutuhan Aktualisasi Diri, mencakup kebutuhan memberdayakan seluruh         potensi dan kemampuan diri.

Kesimpulan
Konsep yang telah dikemukakan oleh Al-Syatibi mempunyai keunggulan koparatif yang sangat signifikan, yakni menempatkan agama sebagai faktor utama dalam elemen kebutuhan dasar manusia. Dalam persepektif islam berpijak pada doktrin keagamaan yang menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam rangka memperoleh kemaslahatan di dunia dan akhirat merupakan bagian dari kewajiban agama, manusia akan termotivasi untuk selalu berkreasi dan berkerja keras, yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas kerja dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Daftar Pustaka

Al-Qardhawi, Yusuf., Peran Nilai dan Moral Perekonomian (Jakarta: Rabbani press: 1997).
Azhar Akmal Tarigan dkk., Dasar-dasar Ekonomi Islam (Bandung: Cipta Pustaka Media: 2006)
Edwin, Mustafa dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: KPMG, 2007).
Karim, Adiwarman Azwar., Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi III, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2008.



[1] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Ekonisia, 2002), hal. 38.
[3] Ir. H. Adiwarman Azwar Karim, S.E.,M.B.A.,M.A.E.P. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi III, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 246-247
[4] Yusuf al-Qardhawi, Peran Nilai dan Moral Perekonomian (Jakarta: Rabbani press: 1997), hal. 341
[5] http://www.islamic-world.net/economics/al_kharaj.htm  diakses pada tanggal 10 Februari 2011
[6] Akmal Azhar, dkk, Dasar-dasar Ekonomi Islam (Bandung: Cipta Pustaka Media: 2006), hal. 263
[7] Mustafa Edwin, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: KPMG, 2007), hal. 145

Tidak ada komentar:

Posting Komentar