PEMIKIRAN EKONOMI
AL-SYATIBI
(790 H / 1388 M)
Pendahuluan
Kemunculan ilmu
ekonomi Islam pada tiga dasawarsa belakangan ini, telah mengarahkan perhatian
para ilmuan modern kepada pemikiran ekonomi Islam klasik. Selama
ini, buku-buku tentang sejarah ekonomi yang ditulis para sejarawan ekonomi atau
ahli ekonomi, sama sekali tidak memberikan perhatian kepada pemikiran ekonomi
Islam.
Apresiasi para
sejarawan dan ahli ekonomi terhadap kemajuan kajian ekonomi Islam sangat kurang
dan bahkan terkesan mengabaikan dan menutupi jasa-jasa intelektual para ilmuwan
muslim. Buku Perkembangan Pemikiran Ekonomi tulisan Deliarnov
misalnya, sama sekali tidak memasukkan pemikiran para ekonom muslim di abad
pertengahan, padahal sangat banyak ilmuwan muslim klasik yang memiliki
pemikiran ekonomi yang amat maju melampaui ilmuwan-ilmuwan Barat dan jauh
mendahului pemikiran ekonomi Barat tersebut. Buku Sejarah Pemikiran
Ekonomi tulisan penulis Belanda Zimmerman, (terjemahan), juga tidak
memasukkan pemikiran ekonomi para pemikir ekonomi Islam. Dengan demikian sangat
tepat jika dikatakan bahwa buku-buku sejarah pemikiran ekonomi (konvensional)
yang banyak ditulis itu sesungguhnya adalah sejarah ekonomi Eropa,
karena hanya menjelaskan tentang pemikiran ekonomi para ilmuwan Eropa.
Pemikiran ekonomi
Islam tersebut diilhami dan dipandu oleh ajaran Al-Quran dan Sunnah juga
oleh ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka.[1] Pemikiran
adalah sebuah proses kemanusiaan, namun ajaran Al-quran dan sunnah bukanlah
pemikiran manusia. Yang menjadi objek kajian dalam pemikiran ekonomi Islam
bukanlah ajaran Al-quran dan sunnah tentang ekonomi tetapi pemikiran para
ilmuwan Islam tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka memahami
ajarean Al-Quran dan Sunnah tentang ekonomi. Obyek pemikiran ekonomi Islam juga
mencakup bagaimana sejarah ekonomi Islam yang terjadi dalam praktek historis.
Dengan demikian, tulisan ini hanya fokus kepada kajian historis, yakni
bagaimana usaha manusia dalam menginterpretasi dan mengaplikasikan ajaran
Alquran pada waktu dan tempat tertentu dan bagaimana orang-orang dahulu mencoba
memahami dan mengamati kegiatan ekonomi juga menganalisa
kebijakan-kebijakan ekonomi yang terjadi pada masanya.
Padahal sejarah
membuktikan bahwa Ilmuwan muslim adalah ilmuwan yang sangat banyak menulis
masalah ekonomi. Mereka tidak saja menulis dan mengkaji ekonomi
secara normatif dalam kitab fikih, tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan
metodologi yang sistimatis menganalisa masalah-masalah ekonomi. Salah satu
intelektual muslim yang paling terkemuka dan paling banyak pemikirannya tentang
ekonomi adalah Al-Syatibi (790 H / 1388 M).[2] Al-Syatibi adalah ilmuwan
muslim yang memiliki banyak pemikiran dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, sosial dan bahasa. Salah satu
pemikiran Al-Syatibi yang sangat menonjol dan amat penting untuk
dibahas adalah pemikirannya tentang ekonomi. Makalah ini akan membahas
pemikiran ekonomi Al-Syatibi dengan metode analitis, deskriptif dan
komparaif. Pentingnya pembahasan pemikiran Ibnu Khaldun tentang ekonomi karena
pemikirannya memiliki signifikansi yang besar bagi pengembangan ekonomi Islam
ke depan.
Pemikiran Ekonomi Al-Syatibi
A.
Biography
Al-Syatibi
yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Gharnati
Al-Syatibi, ia berasal dari suku Arab Lakhmi dan merupakan salah seorang
cendikiawan muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupannya.
Nama Al-Syatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xitiba atau
Jativa) yang terletak di kawasan Spanyol bagian timur.
Al-Syatibi
dibesarkan dan memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr,
Granada, yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol. Dalam meniti
pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermazhab Maliki ini mendalami
berbagai ilmu, baik berbentuk ‘ulum
al-wasa’il (metode) maupun ‘ulum
maqashid (esensi dan hakikat). Al-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya
dengan belajar mendalami bahasa Arab dari Abu Abdillad Muhammad ibn Fakhkhar
Al-Biri, Abu Qasim Muhammad ibn ahmad Al-Syatibi dan Abu Ja’far Ahmad
Al-Syaqwari. Selanjutnya ia belajar dan mendalami hadis dari Abu Qasim ibn Bina
dan Syamsuddin Al-Tilimsani, ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali Mansur
Al-Zawawi, ilmu ushul fiqih dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Miqarri dan
Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad A-Syarif Al-Tilimsani, ilmu sastra dari Abu
Bakar Al-Qarsyi Al-Hasyim, serta berbagai ilmu lainnya.
Setelah
memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, Al-Syatibi mengembangkan potensi
keilmuannya dengan mengajar serta membuat karya-karya ilmiah seperti Syarh Jalil ‘ala al-Khulashah fi al-Nahw dan
Ushul al-Nahw dalam bidang baha Arab
dan al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah dan
al-I’tisham dalam bidang ushul fiqih.
Al-Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H (1388 M).
Konsep Maqashid al-Syari’ah, secara bahasa
terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan
al-Syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-Syari’ah berarti jalan menuju sumber
air, dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah suber pokok kehidupan. Menurut Al-Syatibi
menyatakan:[3]
“sesunggungnya syariah bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.”
Tujuan
syariah menurut Al-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Kemaslahatan,
dalam hal ini diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia,
pemenuhan penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh
kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya dalam pengertian yang mutlak.[4]
Menurut Al-Syatibi
kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan
manusia dapat diwujudkan dan dipelihara, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta. Al-Syatibi membagi maqashid
kedalam tiga tingkatan, yaitu:[5]
a.
Dharuriyat
Jenis
maqashid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan
manusia di dunia dan akhirat yang mencakup pemeliharan lima unsur pokok dalam
kehidupan manusia, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
b.
Hajiyat
Jenis
maqashid ini dimaksud untuk memudahkan kehidupan manusia, menghilangkan
kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur
pokok kehidupan manusia.
c.
Tahsiniyat
Tujuan
jenis muqashad yang ketiga ini adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik
untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. Ia tidak
dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi barbagai kesulitan tetapi hanya
bertindak sebagai pelengkap, penerang dan penghias kehidupan manusai.
Al-Syatibi
menyimpulkan korelasi antara dharuriyat,
hajiyat dan tahsiniyat sebagai berikut :
a) Maqashid dharuriyat merupakan dasar bagi maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat.
b) Kerusakan pada maqashid
dharuriyat akan membawa kerusakan
pula pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat.
c) Sebaliknya kerusakan
pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat tidak dapat merusak maqashid dharuriyat.
d) Kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat yang bersifat absolut
terkadang dapat merusak maqashid dharuriyat.
e) Pemeliharaan maqashid
hajiyat dan maqashid tahsiniyat
diperlukan demi pemeliharaan maqashid
dharuriyat secara tepat.
B.
Pandangan Al-Syatibi di Bidang Ekonomi
1)
Objek Kepemilikan
Pada
dasarnya Al-Syatibi mengakui hak milik individu, namun ia menolak kepemilikan
individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang
banyak.
2)
Pajak
Dalam
pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum). Dengan
mengutip pendapat para pendahulunya, seperti Al-Ghazali dan Ibnu Al-Farra’, ia
menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung
jawab masyarakat. Dalam kondisi tidak mampu menjalankan tanggung jawab ini,
masyarakat bisa mengalihkannya kepada Baitul Mal serta menyumbangkan sebagian
kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut.[6]
C.
Wawasan Modern Teori Al-Syatibi
Syariah
menginginkan setiap individu memperhatikan kesejahteraan mereka. Pendapat Al-Syatibi
yakni manusia senantiasa dituntut untuk mencari kemaslahatan. Aktivitas ekonomi
produksi, kosumsi dan pertukaran yang menyertakan kemaslahatan seperti
didefinisikan syariah harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk memperoleh
kebaikan di dunia dan akhirat. Dengan demikian, seluruh aktivitas ekonomi yang
mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan (needs). Berdasarkan konsep hierarchy of needs, bahwa garis hirarkis
kebutuhan manusia berdasarkan skala prioritasnya terdiri dari :[7]
a. Kebutuhan Fisiologi, mencakup kebutuhan dasar manusia,
seperti makan dan minum.
b. Kebutuhan keamanan, mencakup kebutuhan perlindungan
terhadap gangguan fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi.
c. Kebutuhan Sosial, mencakup kebutuhan akan cinta, kasinh
sayang dan persahabatan.
d. Kebutuhan Akan Penghargaan, mencakup kebutuhan terhadap
penghormatan dan pengakuan diri.
e. Kebutuhan Aktualisasi Diri, mencakup kebutuhan
memberdayakan seluruh potensi dan kemampuan diri.
Kesimpulan
Konsep yang
telah dikemukakan oleh Al-Syatibi mempunyai keunggulan koparatif yang sangat
signifikan, yakni menempatkan agama sebagai faktor utama dalam elemen kebutuhan
dasar manusia. Dalam persepektif islam berpijak pada doktrin keagamaan yang
menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam rangka memperoleh
kemaslahatan di dunia dan akhirat merupakan bagian dari kewajiban agama,
manusia akan termotivasi untuk selalu berkreasi dan berkerja keras, yang pada
akhirnya akan meningkatkan produktivitas kerja dan pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan.
Daftar
Pustaka
Al-Qardhawi,
Yusuf., Peran Nilai dan Moral Perekonomian (Jakarta: Rabbani press:
1997).
Azhar
Akmal Tarigan dkk., Dasar-dasar Ekonomi Islam (Bandung: Cipta
Pustaka Media: 2006)
Edwin,
Mustafa dkk., Pengenalan Eksklusif
Ekonomi Islam (Jakarta: KPMG, 2007).
Karim,
Adiwarman Azwar., Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi III, Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada, 2008.
[1] Heri
Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, (Yogyakarta:
Ekonisia, 2002), hal.
38.
[3] Ir. H. Adiwarman Azwar Karim,
S.E.,M.B.A.,M.A.E.P. Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, Edisi III, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2008, hal.
246-247
[4]
Yusuf al-Qardhawi, Peran Nilai dan Moral Perekonomian (Jakarta:
Rabbani press: 1997), hal. 341
[5]
http://www.islamic-world.net/economics/al_kharaj.htm
diakses pada tanggal 10
Februari 2011
[6] Akmal Azhar, dkk, Dasar-dasar Ekonomi Islam
(Bandung: Cipta Pustaka Media: 2006), hal. 263
[7] Mustafa Edwin, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta:
KPMG, 2007), hal. 145
Tidak ada komentar:
Posting Komentar